Salah satu isu utama yang diperbincangkan di era ini adalah globalisasi. Sejak era millenium, fenomena ini menerobos ‘benteng’ setiap negara. Khususnya di
negeri-negeri kaum muslimin, ia dianggap sebagai ancaman bagi identitas serta
eksistensi muslimin.
Globalisasi adalah sistem yang menghendaki terciptanya dunia tanpa ‘hijab’.
Seluruh negara tersambung (connected) dengan alasan modernisasi tanpa bisa
menolak. Pada tahap inilah, negara-negara super power yang menguasai media
melancarkan aksinya. Yaitu propaganda secara massif dengan memanfaatkan
jaringan media internasional seperti televisi dan internet.
Usaha mereka cepat membuahkan hasil. Hampir seluruh negara merasakan dampaknya.
Dekadensi moral, khususnya pada pemuda muslim
sudah terjadi. Berbagai kasus amoral menghiasi tv nasional dan koran-koran. Sementara pemimpinnya tak
berdaya. Bahkan beberapa bulan lalu, presiden Indonesia menyatakan bahwa negara ini sedang darurat narkoba. Berbagai pakar sebelumnya juga menyatakan pemuda saat ini sedang darurat moral.
Peran Santri
Indonesia yang dikenal sebagai negara mayoritas muslim
merupakan ‘sarang’ para santri. Terdapat ribuan pesantren sebagai wadah mereka yang masih dianggap
steril dalam menghadapi gempuran globalisasi. Sejarah
santri sendiri terbilang heroik. Mereka telah berperan dalam memerdekakan,
mempertahankan kemerdekaan, serta membangun Indonesia.
Lebih dari itu, santri merupakan aset
bangsa yang secara kuantitas sangatlah banyak. Secara kualitas juga tak kalah
dari yang lain. Sayangnya, santri belum banyak berperan dalam bidang
selain keagamaan. Bahkan pemikiran bahwa santri hanya cocok menjadi kyai,
ustadz, guru agama, atau pengurus pesantren sepertinya membuat mereka tak peduli
dengan hal lain. Padahal, Islam adalah way of life.
Sebenarnya, akar pemikiran tersebut
merupakan sekularisme yang berusaha memisahkan agama dari urusan negara atau
public. Dengan demikian, negara akan dipimpin oleh orang yang tak mengerti
agama.
Disinilah santri seharusnya mengambil
peran. Untuk bertahan serta menjaga umat di zaman globalisasi, tidak cukup
hanya dengan faqqihu fiiddin. Namun juga mengerti strategi, kekuasaan, serta
mahir dibidang IPTEK. Itulah tuntutan globalisasi.
Bagaimanapun, santri diharapkan menjawab persoalan bangsa yang semakin memburuk. Khususnya yang berumur sekitar 18-25 tahun, perlu disiapkan
demi menyambut seabad kemerdekaan Indonesia dengan asumsi yang akan memimpin
Indonesia saat itu berumur sekitar 40 hingga 50 tahun.
Dengan adanya hari santri, seyogyanya menjadi
momentum untuk menguatkan peran santri dibidang yang “belum terjamah” . Santri seharusnya
melihat agama secara universal dan tak terjebak pada pemikiran sekuler. Sehingga
akan lahir umara yang ulama, ekonom yang ulung
lagi sholeh, negarawan yang jujur, penegak hukum yang adil bahkan ilmuan yang
faqqihu fiddin.[] Ibnu Sahza
0 komentar:
Posting Komentar