Senin, 27 Februari 2017

Globalisasi dan Santri



Salah satu isu utama yang diperbincangkan di era ini adalah globalisasi. Sejak era millenium, fenomena ini menerobos ‘benteng’ setiap negara. Khususnya di negeri-negeri kaum muslimin, ia dianggap sebagai ancaman bagi identitas serta eksistensi muslimin.
Globalisasi adalah sistem yang menghendaki terciptanya dunia tanpa ‘hijab’. Seluruh negara tersambung (connected) dengan alasan modernisasi tanpa bisa menolak. Pada tahap inilah, negara-negara super power yang menguasai media melancarkan aksinya. Yaitu propaganda secara massif dengan memanfaatkan jaringan media internasional seperti televisi dan internet.
Usaha mereka cepat membuahkan hasil. Hampir seluruh negara merasakan dampaknya. Dekadensi moral, khususnya pada pemuda muslim sudah terjadi. Berbagai kasus amoral menghiasi tv nasional dan koran-koran. Sementara pemimpinnya tak berdaya. Bahkan beberapa bulan lalu, presiden Indonesia menyatakan bahwa negara ini  sedang darurat narkoba. Berbagai pakar sebelumnya juga menyatakan pemuda saat ini sedang darurat moral.
Peran Santri
 Indonesia yang dikenal sebagai negara mayoritas muslim merupakan ‘sarang’ para santri. Terdapat ribuan pesantren sebagai wadah mereka yang  masih dianggap steril dalam menghadapi gempuran globalisasi. Sejarah santri sendiri terbilang heroik. Mereka telah berperan dalam memerdekakan, mempertahankan kemerdekaan, serta membangun Indonesia.
Lebih dari itu, santri merupakan aset bangsa yang secara kuantitas sangatlah banyak. Secara kualitas juga tak kalah dari yang lain. Sayangnya, santri belum banyak berperan dalam bidang selain keagamaan. Bahkan pemikiran bahwa santri hanya cocok menjadi kyai, ustadz, guru agama, atau pengurus pesantren sepertinya membuat mereka tak peduli dengan hal lain. Padahal, Islam adalah way of life.
Sebenarnya, akar pemikiran tersebut merupakan sekularisme yang berusaha memisahkan agama dari urusan negara atau public. Dengan demikian, negara akan dipimpin oleh orang yang tak mengerti agama.
Disinilah santri seharusnya mengambil peran. Untuk bertahan serta menjaga umat di zaman globalisasi, tidak cukup hanya dengan faqqihu fiiddin. Namun juga mengerti strategi, kekuasaan, serta mahir dibidang IPTEK. Itulah tuntutan globalisasi.
Bagaimanapun, santri diharapkan menjawab persoalan bangsa yang semakin memburuk. Khususnya yang berumur sekitar 18-25 tahun, perlu disiapkan demi menyambut seabad kemerdekaan Indonesia dengan asumsi yang akan memimpin Indonesia saat itu berumur sekitar 40 hingga 50 tahun.
Dengan adanya hari santri, seyogyanya menjadi momentum untuk menguatkan peran santri dibidang yang “belum terjamah” . Santri seharusnya melihat agama secara universal dan tak terjebak pada pemikiran sekuler. Sehingga akan lahir umara yang ulama, ekonom yang ulung lagi sholeh, negarawan yang jujur, penegak hukum yang adil bahkan ilmuan yang faqqihu fiddin.[] Ibnu Sahza

0 komentar:

Posting Komentar